Strategi Pembelajaran Bagi Anak Tunanetra
Permasalahan
strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua
pemikiran, yaitu :
1)
Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
2)
Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk
mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi
lain).
Dalam
pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan,
antara lain :
Prinsip
individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun
pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan
individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri
menjadi lebih luas dan kompleks. Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum
seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak
tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan
ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab
ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus
ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan
anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan
perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan
anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program
– IEP).
2) Prinsip
kekonkritan/pengalaman Penginderaan
Strategi
pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra
mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa
Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung. Anak tunanetra
tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak,
bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang
sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya
akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing
untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung
dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sangat erat kaitannya
dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip
kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan
relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian
khusus.
3) Prinsip
Totalitas
Strategi
pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh
pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru
mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara
terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini
disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua
alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk
mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan
untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus
memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin
juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai
burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang
hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya
penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk
mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa
diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab
itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4) Prinsip
Aktivitas Mandiri (Selfactivity)
Strategi
pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara
aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah
fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang
membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa
strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami,
bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap
perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh
fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak,
tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna
mendapatkan isi pelajaran tersebut.
susunan blognya terlalu dekat jadi terkesan acak-acakan. tapi isi blognya sudah bagus kok :) TINGKATKAN !!!
BalasHapus